Dalam hukum internasional, ada dua cara dalam memandang perang—alasan berperang dan cara berperang. Secara teori, mungkin saja melanggar semua aturan ketika bertempur dalam sebuah perang yang dibenarkan (just war) atau berperang dalam sebuah perang yang tidak dibenarkan (unjust war) dengan tetap memegang teguh hukum konflik berrsenjata.
Jus (atau ius) ad bellum adalah sebutan yang diberikan pada cabang hukum yang menentukan alasan-alasan yang sah bagi sebuah negara untuk berperang dan memfokuskan pada kriteria tertentu yang membuat sebuah perang itu dibenarkan. Sumber hukum modern utama dari jus ad bellum berasal dari Piagam PBB, yang dalam Pasal 2 mendeklarasikan: “Semua anggota dalam hubungan internasionalnya akan menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan yang bertentangan dengan integritas wilayah maupun kemandirian politik negara manapun, atau dengan cara apapun bersikap tidak konsisten dengan tujuan PBB”; dan dalam Pasal 51: Tidak ada apapun dalam Piagam ini yang akan merusak hak yang melekat pada pembelaan diri orang perorangan maupun kolektif jika sebuah serangan bersenjata muncul melawan sebuah Anggota PBB.”
Jus in bello, sebaliknya, adalah serangkaian hukum yang akan berlaku begitu peperangan dimulai. Tujuannya adalah untuk mengatur bagaimana perang dilakukan, tanpa adanya kecurigaan terhadap alasan-alasan bagaimana atau mengapa perang tersebut dimulai. Jadi sebuah pihak yang terlibat dalam peperangan yang dengan mudahnya dapat dikelompokkan kedalam perang yang tidak dibenarkan (contohnya, serangan agresif Irak terhadap Kuwait tahun 1990), harus tetap berpegang pada aturan-aturan tertentu selama berlangsungnya peperangan, demikian pula pihak yang menegakkan kebenaran melawan ketidakdilan tersebut. Cabang hukum ini bersandar pada hukum kebiasaan (customary law), didasarkan pada praktik-praktik perang yang telah dikenali, begitu pula hukum perjanjian (treaty law) (seperti Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907), yang menetapkan peraturan pelaksanaan permusuhan. Dokumen-dokumen utama lainnya yaitu Konvensi Jenewa 1949, yang melindungi para korban perang—yang sakit dan terluka (Kesatu), yang karam (Kedua), tawanan perang (Ketiga); dan rakyat sipil yang berada di tangan pihak musuh dan, sampai batasan tertentu, semua orang sipil yang berada dalam wilayah kekuasaan negara-negara yang sedang dalam konflik (Keempat)—dan Protokol-protokol Tambahan 1977, yang menjabarkan istilah-istilah kunci seperti peserta tempur/kombatan, memuat perlengkapan terperinci untuk melindungi non-kombatan, alat angkutan medis, dan pembelaan sipil, dan pelarangan praktik-praktik semacam serangan membabibuta (indiscriminate attack).
Tidak ada perjanjian mengenai istilah sehari-hari untuk jus in bello. Komite Palang Merah International (ICRC) dan banyak cendekiawan, yang lebih suka menekankan hal yang positif, menggunakan istilah hukum humaniter internasional (HHI) untuk menekankan tujuan mereka untuk meredakan/mengurangi ekses perang dan melindungi rakayat sipil dan non kombatan lainnya. Namun pakar militer, didukung oleh cendekiawan lainnya, menekankan bahwa hukum perang ditarik langsung dari kebiasaan-kebiasaan dan praktik perang itu sendiri, dan dimaksudkan untuk melayani angkatan bersenjata Negara. Biasanya mereka menggunakan aturan yang lebih tradisional, hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan konflik bersenjata, atau yang lebih sederhananya adalah hukum perang.
*sumber : Crimes of War Project
Leave a comment